Apa Perbedaan Fiqh Dengan Syari'at? Yuk Simak Ulasan Berikut!

Apa itu Syariah?

Syariah berasal dari kata syara`a. kata ini menurut ar-Razi dalam bukunya Mukhtarus Shihab bisa berarti menempuh, menjelaskan dan menunjukan. Pengertian syariah menurut istilah adalah teks-teks suci yang diturunkan Allah kepada Rasulullah, baik al-Quran maupun as-Sunnah, yang mana sunnah sendiri adalah terjemahan, penjabaran, implementasi dan praktik dari al-Quran.

Yang dimaksud dengan syariat adalah jalan ke sumber(mata air) yakni jalan yang lurus yang harus diikuti oleh setiap muslim, syariat merupakan jalan hidup muslim, ketetapan-ketetapan Allah dan ketentuan RasulNya, baik berupa larangan maupun berupa seruan, meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia.

Apa itu Fiqh?

Fiqih secara etimologi berarti pemahaman yang mendalam dan membutuhkan pengerahan potensi akal. Sedangkan secara terminology fiqh merupakan bagian dari syariat Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan berakal sehat(mukallaf) dan diambil dari dalil yang terinci. Menurut istilah, Fiqih Islam adalah hasil konklusi dari pemahaman para Ulama Fiqih atas naskah suci al-Quran dan al-Hadits.

Fiqih merupakan hasil penemuan mujtahid dalam hal yang tidak dijelaskan oleh nash. Dari penjelasan diatas dapat kita tarik bahwa fiqih dan syariat memiliki hubungan yang erat. Semua tindakan manusia di dunia dalm mencapai kehidupan yang baik itu harus tunduk kepada kehendak Allah dan Rasulullah. Kehendak itu terdapat sebagian terdapat secara tertulis dalam kitabNya yang disebut syariah. Untuk mengetahui semua kehendakNya tentang amaliah manusia itu, harus ada pemahaman yang mendalam tentang syariat, sehingga dapat diterapkan dalam kondisi dan situasi apapun dan bagaimanapun. Hasilnya itu dituangkan dalam ketentuan tentang amaliah manusia mukallaf yang diramu dan diformulasikan sebagai hasil pemahaman syariah itu disebut fiqh.

Hal ini tidak berarti kalau Fiqih itu tidak ada harganya dan tidak besar nilainya, bukan demikian, disini yang kita maksud bahwa Fiqih tidak memiliki “qodasah” atau kesakralan sebagaimana Syariah. Inilah mengapa istilah syariah dan syariat lebih populer: fakultas syariah, bank syariah dan hijab syar’i. Karena istilah “syariat” dirasa dan dianggap lebih tinggi dibandingkan “fiqih”.

Bagaimana Karakteristik Hukum Islam?

Definisi hukum menurut hukum positif adalah peraturanperaturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan berwajib.Pelanggaran terhadap aturan-aturan tersebut berakibat diambilnya tindakan berupa sanksi dengan hukuman tertentu. Didalam bahasa Indonesia untuk syari'at Islam sering dipergunakan istilah hukum syari'at atau hukum syara' untuk fikih Islam dipergunakan istilah hukum fikih atau kadang-kadang hukum Islam. Syari'at adalah landasan fikih, fikih adalah pemahaman tentang syari'at.

Hakikat hukum Islam itu tiada lain adalah syari'ah itu sendiri, yang bersumber dari al-Qur'an, Sunnah Rasul dari al-Ra'yu Doktrin pokok dalam Islam itu sendiri yaitu konsep tauhid merupakan fondasi dalam struktur hukum Islam, yaitu hubungan hablun win Allah (hubungan vertikal), dari hablun Min al-nas (hubungan horizontal), al-anirit bil nia'ruf wa alnahyu al-munkar, taqwa, adil, dan bijaksana serta mendahulukan kewajiban daripada hak dan kewenangan.Sehubungan dengan doktrin di atas, maka terdapat lima sifat dan karakteristik hukum Islam yaitu:

a.       Sempurna

Syari'at Islam diturunkan dalam bentuk yang umum dari garis besar permasalahan. Oleh karena itu hukum-hukumnya bersifat tetap, tidak berubah-ubah lantaran berubahnya masa dari berlainannya tempat. Untuk hukum-hukum yang lebih rinci, syari'at isi am hanya menetapkan kaedah dan memberikan patokan umum. penjelasan dan rinciannya diserahkan pada ijtihad pemuka masyarakat. Menurut M. Hasbi AshShiddieciy, salah satu ciri hukum Islam adalah takamul yaitu, lengkap, sempurna dan bulat, berkumpul padanya aneka pandangan hidup. Menurutnya hukum Islam menghimpun segala sudut dan segi yang berbeda-beda di dalam suatu kesatuan karenanya hukum Islam tidak menghendaki adanya pertentangan antara Ushul dengan Furu', tetapi satu sama lain saling lengkap-melengkapi kuat-menguatkan.

b.      Elastis

Hukum Islam juga bersifat elastis (lentur, Luwes), Ia meliputi Segala bidang dan lapangan kehidupan manusia,. Hukum Islam memperhatikan berbagai segi kehidupan baik bidang muamalah, ibadah, jinayah dan lain-lain. Meski demiklan ia tidak memiliki dogma yang kaku, keras dan memaksa. Hukum Islam hanya memberikan kaidah-kaidah urn urn yang mesti dijalankan oleh umat manusia. Sebagai bukti bahwa hukum Islam bersifat elastis. Dapat dilihat dalam salah satu contoh dalam kasus jual beli; bahwa ayat hukum yang berhubungan dengan jual bell (Q.S. al-Bagarah (2): 275, 282, Q.S. an-Nisa' (4): 29, dan Q.S. (62): 9). Dalam ayat-ayat tersebut diterangkan hukum bolehnya jual beli, persyaratan keridhaan antara kedua belah pihak, larangan riba, dan larangan jual beli waktu azan Jum'at. Kemudian Rasul menjelaskan beberapa aspek jual beli yang lazim berlaku pada masa beliau. Selebihnya, tradisi atau adat masyarakat tertentu dapat, dijadikan sebagai bahan penetapan hukum jual beli.

c.       Universal dan Dinamis

Ajaran Islam bersifat universal. Ia meliputi seluruh alam tanpa tapal batas, tidak dibatasi pada daerah tertentu seperti ruang lingkup ajaranajaran Nabi sebelumnya. Berlaku bagi orang Arab dan orang `Ajam (non-Arab). Universalitas hukum Islam ini sesuai dengan pemilik hukum itu sendiri yang kekuasaan tidak terbatas. Di samping itu, hukum Islam mempunyai sifat yang dinamis (cocok untuk setiap zaman).

 Hukum Islam memberikan kepada kemanusiaan sejumlah hukum yang positif yang dapat dipergunakan untuk segenap masa dan tempat. Dalam gerakannya hukum Islam menvertai perkembangan manusia, mempunyai kaidah asasiyah, yaitu ijtihad. Ijtihadlah yang akan menjawab segala tantangan masa, dapat memenuhi harapan zaman dengan tetap memelihara kepribadian. dari nilai-nilai asasinya.

Dalam kaitannya dengan keuniversalan tersebut dapat dipahami lewat konstitusi negara musim pertama. Madinah, menyetujui dan melindungi kepercayaan non-muslim dan kebebasan mereka untuk mendakwahkan. Konstitusi ini merupakan kesepakatan antara Muslim dan Yahudi, serta orang-orang Arab yang bergabung di dalamnya. Non-Muslim dibebaskan dari keharusan membela negara dengan membayar Jizyah, yang. berarti hak hidup dan hak milik mereka dijamin. Istilah Zimmi, berarti orang non-Muslim yang dilindungi Allah dan Rasul. Kepada orang-orang non-Muslim itu diberikan hak Otonomi yudisial tertentu. Warga Negara dan kalangan ahli kitab dipersilahkan menyelenggarakan keadilan sesuai dengan apa yang Allah wahyukan.

d.      Sistematis

Arti dari pc.myataan bahwa hukum Islam itu bersifat sistematis adalah bahwa hukum Islam nu mencerminkan sejumlah doktrin yang bertalian secara logis, sating berhubungan satu dengan lainnya. Perintah shalat dalam al-Qur'an senantiasa diiringi dengan perintah zakat. Dan berulang-ulang Allah berfirman "makan dan minumlah kamu tetapi jangan benlebihan". Dalam hal ini dipahami bahwa hukum Islam melarang seseorang hanya mermuamalah dengan Allah dan melupakan dunia. Manusia diperintahkan mencari rezeki, tetapi hukum Islam melarang sifat imperial dan kolonial kctika mencari rezeki tersebut.

e.       Ta’aquli dan Ta’abbudi

Sebagaimana dipahami bahwa syari'at Islam mencakup bidang mu'amalah dan bidang ibadah. Dalam bidang ibadah terkandung nilai-nilai ta'abbudil ghairu ma' qulah al ma'na (Irasional), artinya manusia tidak boleh beribadah kecuali dengan apa yang telah disyari'atkan dalam bidang ini, tidak ada pintu ijtihad bagi umat manusia. Sedangkan bidang muamalah, di dalamnya terkadang nilai-nilai ta'aquli/ma’aqulah al-ma’na (rasional). Artinya, umat Islam dituntut untuk berijtihad guna membumikan ketentuan-ketentuan syari'at tersebut.

 Dengan demikian hukum Islam yang bersifat irasional, aturanaturan hukum Islam itu sah atau baik, karena semata-mata eksistensi kebajikan yang terkandung di dalamnya, bukan karena rasionalitasnya.

Dari uraian di atas bahwa sifat hukum Islam tersebut, mempunyai hubungan simbiosis (sangat erat), sehingga dapat dipahami bahwa kelima sifat yang telah disebutkan itu, merupakan satu keterpaduan karakteristik hukum Islam yang sangat sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk Allah SWT, yang dilengkapi dengan dua kelebihan daripada makhluk lainnya yaitu akal (intelegensia) dari kalbu (hati nurani).

Baca Juga Ya!

Apa itu Ijtihad?

Ijtihad sebagai kata bahasa arab adalah dari bahasa al-juhd, yang berarti althaqah (daya kemampuan, kekuatan) atau dari kata al-jahd yang berati al-masyaqah (kesulitan, kesukaran). Sedangkan ijtihad dalam artian terminologi ishuliyah adalah kemampuan secara maksimal untuk mendapatkan pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at. Dalam arti luas atau umum, ijtihad juga digunakan dalam bidang-bidang lain agama. misalnya, Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa ijtihad juga digunakan dalam bidang tasawuf dan lain-lain, mengatakan: “sebenarnya mereka (kaum sufi) adalah mujtahid-mujtahid dalam masalah-masalah kepatuhan, sebagaimana mujtahid-mujtahid lain.” dan pada hakikatnya mereka (kaum sufi di Bashrah), dalam masalah ibadah dan ahwal (hal ihwal) ini adalah mujtahid-mujtahid, seperti halnya dengan tetangga mereka di Kuffah yang juga mujtahid-mujtahid dalam masalah hukum, tata Negara, dan lain-lain.

Berdasarkan Histori, umat Islam melakukan ijtihad pada pertama kalinya yaitu dalam permasalahan pengganti nabi Muhammad SAW. sebagai khalifah atau kepala Negara setelah beliau wafat. Kemudian setelah menjabat sebagai kholifah, Abu Bakar menghadapi suatu masalah, sebagian orang Islam tidak mau membayar zakat setelah Nabi Muhammad wafat, kemudian ia menyelesaikan masalah itu dengan ijtihad. Dalam Islam, ijtihad adalah sebuah persoalan yang tidak akan pernah berhenti, yang ramai mulai zaman dahulu sampai dengan zaman sekarang.

Ijtihad adalah sebagai sebuah upaya pembaharuan dan pengembangan hukum Islam yang memiliki sifat dan karateristik tersendiri diantaranya, ta'amul (sempurna), wasathiyah (harmonis) dan harakah (dinamis). Ijtihad, merupakan sumber ketiga ajaran Islam. Sifat harakah atau dinamis yang dimiliki oleh hukum Islam inilah yang mampu mengakomodir dan merespon dan menjawab segala persoalan yang tidak ditemukan dari sumber utama hukum Islam sebagai dampak dari perubahan dan kemajuan social yang tidak bisa dielakkan.

Ada Berapa Macam Ijtihad?

Ijtihad mempunyai beberapa macam, yakni

a.       Ijma’

Ijma’ yaitu kesepakatan atau sependapat dengan suatu hal mengenai hukum syara’ dari suatu peristiwa setelah wafatnya Rasul.

b.      Qias

Qias yaitu menyamakan,membandingkan atau menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan yang telah ditetapkan hukunya berdasarkan nash.

c.       Ihtisan

Ihtisan yaitu menunggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang diteapkan berdasarkan dalil dan syara’.

d.      Maslahah Mursalah

Adalah suatu kemaslahatan.

e.       Urf

Kebiasaan yang dikenal orang banyak dan menjadi tradisi.

f.        Istishab

Menetapkan hukum terhadap sesuatu berdasar keadaan sebelumnya sehingga ada dalil yang menyebut perubahan tersebut.

Berdasarkan Macam Tingkatan Ijtihad terdiri dari,

a.       Ijtihad Muthalaq

Dilakukan dengan cara menciptakan sendiri norma dan kaidah yang dipergunakan sebagai sistem/metode bagi seorang mujtahid.

b.      Ijtihad Muntasib

Dilakukan seorang mujtahid dengan cara mempergunakan norma dan kaidah istinbath imamnya.

c.       Ijtihad Mazhab atau Fatwa

Yaitu Ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid dalam lingkungan mazhab tertentu.

d.      Ijtihad dibidang Tarjih

Yaitu ijtihad dengan cara mentarjih dari beberapa pendapat yang ada dalam satu lingkungan mazhab tertentu maupun dari berbagai mazhab.

Bagaimana Kedudukan Ijtihad?

Dalam sejarah pemikiran islam, Ijtihad telah banyak digunakan. Ajaran Al-Qur’an dan hadis memang menghendaki digunakannya ijtihad, dari ayat Al-Qur’an yang jumlahnya lebih kurang 500 ayat. Menurut perkiraan ulama yang berhubungan dengan akidah, ibadah, muamalah. Ayat-ayat tersebut, pada umumnya terbentuk teks-teks dasar tanpa menjelaskan lebih lanjut mengenai maksud, rincian, cara pelaksanaannya. Untuk itu ayat tersebut perlu dijelaskan oleh orang-orang yang mengetahui Al-Qur’an dan hadits yaitu para sahabat Nabi dan kemudian para ulama penjelasan oleh para sahabat dan para ulama tersebut diberikan melalui ijtihad. Jadi kedudukan ijtihad adalah sumber ke 3 sesudah al-Qur’an dan Hadits.

Kenapa Timbul Perbedaan Hasil Ijtihad?

a.       Perbedaan Dalam Metode Memahami Ayat Al-Qur’an

Para ulama' sepakat untuk menyatakan bahwa al qur'an merupakan dasar pokok dan utama serta pertama bagi para mufti dan berijtihadnya, sebab setiap masalah harus di kembalikan kepadanya sebagai sumber hukum pertama dan utama. dan para sahabat masih harus mencari orang-orang yg benar- benar memahami masalah asbab An Nuzul ayat. Meskipun demikian,masih saja terjadi perselisihan dan perbedaan pandangan diantara mereka.

b.      Perbedaan Dalam Metode Memahami Ash-Sunnah

Al Hadits yang di keluarkan oleh Rosululloh SAW selama 20 tahun lebih itu di sebabkan adanya kasus yangg terjadi di tengah-tengah masyarakat pada waktu itu. Di antara kasus-kasus tersebut ada yang di spakati dan Adapun yang di batalkan. Begitu juga dengan keadaan sahabat yang bermacam-macam, ada yang lebih dahulu masuk islam dan ada yang baru saja masuk. Ada juga sebagian waktunya di pergunakan untuk mencari ilmu. Begitu juga waktu untuk berijtihad, di mana para sahabat itu ada yang hampir seluruh waktunya di pergunakan untuk mengikuti jejak Rosululloh SAW dan mereka ini jelas wacana keagamaannya lebih luas dari yang lain.

Oleh sebab itu, para sahabat yang lebih dahulu masuk islam, lalu waktunya di habiskan untuk menyertai Rosul, maka wawasan mereka dalam kemampuan memahami nash, lebih sempurna di bandingkan dengan sahabat yang masuk islmanya belakang dan waktu mereka gunakan untuk menyertai Rosul sedikit. Dengan keadaan inilah maka hadits nabi yang di terima para sahabat tersebut tentu tidak sama.

c.       Perbedaan Metode Ijtihad Dikalangan Sahabat

Dalam  prosedur penetapan metode penentuan hukum islam, para sahabat slalu menetapkan metode (cara) jika masalah tersebut tidak di temukan hukumnya dalam al qur'an dan al hadits, maka untuk menetapkan hukumnya mereka menggunakan ra’yu atau ijtihad, artinya setelah merenungkan dan menyelidiki masalahnya dan mencari yg benar di antara dhalil-dhalil yg dhohir, dan yg bertentangan, baik pada akhirnya di putuskan sendiri maupun di tempuh dengan jalan yg lainnya. Karna faktor penetapan seperti itulah,terjadi perselisihan,diantara mereka sesuai dengan arah dan tujuan amsing-masing. Sekalipun demikian, perselisihan diantara mereka tidak sampai meluasdeperti yang terjadi pada masa-masa sesudahnya.

d.      Perbedaan Metode Ijtihad Dikalangan Tabi’in

    Pada masa tabi'in kedudukan ijtihad sebagai salah Satu alat untuk menggali hukum islam semakin meluas sekalipun prinsip musyawaroh sudah terlihat agak menurun dan kurang berfungsi. Hal ini terjadi karna adanya hal-hal seperti banyaknya para ulama' yang sudah terpencar seluruh wilayah islam, sehingga prinsip tersebut sulit di laksanakan, dan pecahnya suhu politik dibkalangan kaum muslimin dalam masalah kepemimpinan, setelah wafatnya utsman bin affan.hal ini terbagi menjadi 4 kelompok, yaitu: klompok khiwarij, syi'ah, mu'awiyah, dan kelompok murji'ah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengantar Studi Islam