Aliran dalam Islam, Apa Saja? Yuk Simak Ulasan Berikut!
Sebuah kenyataan pahit dalam sejarah umat Islam dimana munculnya Ilmu Kalam dipicu oleh persoalan politik yang menyangkut peristiwa pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan yang berbuntut pada penolakan Mu’awiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Perseteruan antara Mu’awiyah dan Ali bin Abi Thalib memuncak sehingga terjadi Perang yang dikenal dalam sejarah dengan Perang Shiffin yang berakhir dengan keputusan tahkim (arbitrase) yaitu solusi untuk mendamaikan kedua belah pihak namun dijadikan alat politik untuk memecah kubu Khalifah Ali bin Abi Thalib menjadi dua bagian yaitu Syi‘ah dan Khawarij.
Sikap Ali yang menerima tipu muslihat politik Amr bin Ash, utusan dari pihak Mu’awiyah dalam peristiwa tahkim, membuat kekecewaan dari pihak yang sebelumnya mendukung Ali bin Abi Thalib, lalu meninggalkan barisannya karena memandang Ali bin Abi Tholib telah berbuat kesalahan fatal. Dalam sejarah Islam, kubu yang meninggalkan barisan Ali dikenal dengan sebutan Khawarij, yaitu orang yang keluar dan memisahkan diri atau secerders. Sedangkan, sebagian besar pasukan yang membela dan tetap mendukung Ali menamakan dirinya sebagai kelompok Syi‘ah. Sementara itu, perkembangan Islam ke berbagai daerah mengharuskan umat Islam berhadapan dengan pemeluk agama lain, seperti majusi, Yahudi dan Nasrani. Mereka sudah lama berkenalan dengan filsafat, sehingga untuk menghadapinya, umat Islam dituntut menjelaskan system keimanan secara rasional agar mereka dapat menerima dan memahaminya. Dari sinilah kelak akan menjadi pupuk penyubur kebangkitan aliran-aliran kalam lainnya.
A. Aliran Khawarij
Khawarij adalah
suatu nama yang mungkin diberikan oleh kalangan lapangan di sana karena tidak
mau menerima arbitrase dalam pertempuran siffin yang terjadi antara Ali dan
Mu’awiyah dalam upaya penyelesaian persengketaan antara keduanya tentang
masalah khalifah. Khawarij berasal dari kata kharaja, artinya ialah keluar, dan
yang dimaksudkan disini ialah mereka yang keluar dari barisan Ali sebagai
diterimanya arbitse oleh Ali. Tetapi sebagaian orang berpendapat bahwa nama itu
diberikan kepada mereka, karena mereka keluar dari rumah-rumah mereka dengan
maksud berjihad di jalan Allah.
Bila di masa Rasulullah kafir hanya
untuk mereka yang tidak memeluk Islam, tapi kaum Khawarij memperluas
pengertiannya dengan memasukkan orang-orang yang telah masuk Islam. Yakni orang
Islam yang bila ia menghukum, maka yang digunakan bukanlah hukum Allah. Ajaran
Khawarij bermula dari masalah pandangan mereka tentang kufur. Kufur
(orang-orang kafir), berarti tidak percaya. Lawannya adalah iman (orang yang
dikatakan mukmin) berarti percaya. Di masa Rasulullah kedua kata itu
termanifestasi secara tajam sekali, yakni orang yang telah percaya kepada Allah
yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW dan orang-orang yang tidak percaya
kepada Allah tersebut. Dengan kata lain, mukmin adalah orang yang telah memeluk
agama Islam sedangkan kafir adalah orang yang belum memeluk agama Islam. Secara
umum, konsep mereka tentang iman bukan pembenaran dalam hati semata-mata.
Pembenaran hati (al-tasdiq bi al-qabl) menurut mereka, mestilah disempurnakan
dengan menjalankan perintah agama. Seseorang yang telah memercayai bahwa tiada
Tuhan melainkan Allah dan Muhammad itu utusan Allah, tapi ia tidak melakukan
kewajiban agama, berarti imannya tidak benar, maka ia akan menjadi kafir
Pengikut Khawarij terdiri dari suku Arab Badui yang masih sederhana cara berpikirnya. Jadi sikap keagamaan mereka sangat ekstrem dan sulit menerima perbedaan pendapat. Mereka menganggap orang yang berada di luar kelompoknya adalah kafir dan halal dibunuh. Sikap picik dan ekstrem ini pula yang membuat mereka terpecah menjadi beberapa sekte. Berbeda dengan kelompok Sunni dan Syi’ah, mereka tidak mengakui hak-hak istimewa orang atau kelompok tertentu untuk menduduki jabatan khalifah. Khawarij tidak memandang kepala negara sebagai orang yang sempurna. Ia adalah manusia biasa juga yang tidak luput dari kesalahan dan dosa. Karenanya, mereka menggunakan mekanisme syura untuk mengontrol pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan. Kalau ternyata kepala negara menyimpang dari semestinya, dia dapat diberhentikan atau dibunuh.
B. Aliran Syi’ah
Syiah dalam bahasa Arab artinya ialah pihak, puak, golongan, kelompok atau pengikut sahabat atau penolong. Pengertian itu kemudian bergeser mempunyai pengertian tertentu. Setiap kali orang menyebut syiah, maka asosiasi pikiran orang tertuju kepada syiah-ali, yaitu kelompok masyarakat yang amat memihak Ali dan dan memuliakannya beserta keturunannya yang sering disebut “Ahlul Bait”. Kelompok tersebut lambat laun membangun dirinya sebagai aliran dalam Islam.
Sejak jaman Rasulullah serta khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khatab, belum pernah ditemukan adanya satu golongan politik atau golongan agama yang memiliki banyak pengikut, memiliki karakter dan identitas khusus serta memiliki target yang jelas. Golongan itu baru muncul pada masa Khalifah Utsman. Mereka adalah orang-orang yang setia pada Ali, yang menganggap bahwa kekhalifahan Ali berdasarkan Nash Al-quran dan wasiat dari Rasulullah SAW, baik yang disampaikan secara jelas maupun samar. Menurut mereka seharusnya tampuk kepemimpinan diduduki oleh Ali dan keturunannya, serta tidak boleh lepas darinya.
C. Aliran Jabbariyah
Kata
Jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa dan mengharuskannya melaksanakan
sesuatu atau secara harfiah dari lafadz aljabr yang berarti paksaan. Kalau
dikatakan Allah mempunyai sifat Aljabbar (dalam bentuk mubalaghah), itu artinya
Allah Maha Memaksa. Selanjutnya kata jabara setelah ditarik menjadi jabariyah
memiliki arti suatu aliran. Lebih lanjut Asy- Syahratsan menegaskan bahwa paham
Al jabr berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya
dan menyandarkannya kepada Allah. Dengan kata lain manusia mengerjakan
perbuatannya dalam keadaan terpaksa
Secara
istilah, jabbariyah berarti menyandarkan perbuatan manusia kepada Allah SWT.
Jabariyyah menurut mutakallimin adalah sebutan untuk mahzab al-kalam yang
menafikan perbuatan manusia secara hakiki dan menisbatkan kepada Allah SWT
semata. Menurut Harun Nasution, jabariyah adalah paham yang menyebutkan bahwa
segala perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Qada dan Qadar
Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan oleh manusia
tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan dengan
kehendaknya. Disini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat, karena
tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahkan bahwa jabariyah adalah aliran
manusia menjadi wayang dan tuhan sebagai dalangnya.
Aliran Jabbariyah ini sebenarnya sudah ada di kalangan bangsa Arab sebelum Islam. Sejarah mencatat bahwa orang yang pertama kali menampilkan paham jabbariyah di kalangan umat Islam adalah Al-Ja’d Ibn Dirham Pandangan-pandangan Ja'ad bin Dirham ini kemudian disebar luaskan oleh pengikutnya, seperti Jahm bin Shafwan dari Khurasan. Dalam sejarah teologi Islam, Jahm tercatat sebagai tokoh yang mendirikan aliran jahmiyyah dalam kalangan Murji’ah. Ia adalah sekretaris Surai bin Al hariz dan selalu menemaninya dalam gerakan melawan kekuasaan bani Umayyah. Namun dalam perkembangannya paham Jabariyyah juga dikembangkan oleh tokoh lainnya diantaranya Al Husain bin Muhammad An-Najjar dan Ja’ad bin Dirrar. Paham Jabariyah ini diduga telah ada sejak sebelum agama Islam datang kemasyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh Gurun Pasir Sahara telah memberi pengaruh besar dalam ke dalam cara hidup mereka. Dan dihadapkan alam yang begitu ganas, alam yang indah tetapi kejam, menyebabkan jiwa merasa dekat dengan Dzat Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Dengan suasana alam yang demikian menyebabkan mereka tidak punya daya dan kesanggupan apa-apa, melainkan semata-mata patuh, tunduk dan pasrah kepada kehendak Tuhan, dan dalam al-Qur'an sendiri banyak memuat ayat-ayat yang membawa kepada timbulnya paham Jabariyah. "Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat" {QS AshShaffat: 96} .Selain ayat-ayat Al Quran diatas, benih-benih paham al-jabar juga dapat dilihat dalam beberapa peristiwa sejarah. Suatu ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah takdir Tuhan, Nabi melarang mereka memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat tuhan mengenai takdir. Adanya paham jabar telah mengemukakan ke permukaan pada masa bani umayyah yang tumbuh berkembang di Syria. Di samping adanya bibit pengaruh faham jabar yang telah muncul dari pemahaman terhadap ajaran Islam itu sendiri, ada sebuah pandangan mengatakan bahwa aliran jabar muncul karena adanya pengaruh dari pemikiran asing, yaitu pengaruh agama yahudi bermadzhab Qurra dan agama Kristen bermadzhab Yacobit.
Baca Juga Ya!
D. Aliran Qadariyah
Qadariyah
berasal dari kata “qodara” yang artinya memutuskan dan kemampuan dan memiliki
kekuatan, sedangkan sebagai aliran dalam ilmu kalam. Qadariyah adalah nama yang
dipakai untuk salah satu aliran yang memberikan penekanan terhadap kebebasan
dan kekuatan manusia dalam menghasilkan perbuatan-perbuatannya. Dalam paham
Qadariyah manusia dipandang mempunyai Qudrat atau kekuatan untuk melaksanakan
kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk
kepada Qadar atau pada Tuhan. Adapun menurut pengertian terminologi Qodariyyah
adalah suatu aliran yang mempercayai bahwa segala tindakan manusia tidak
diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini juga berpendapat bahwa tiap-tiap orang
adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau
meninggalkannya atas kehendak sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut,
qodariyyah merupakan nama suatu aliran yang memberikan suatu penekanan atas
kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatannya. Harun Nasution
menegaskan bahwa kaum qodariyyah berasal dari pengertian bahwa manusia
mempunyai qodrat atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, akan tetapi
bukan berarti manusia terpaksa tunduk paada qodrat Tuhan. Kata qadar
dipergunakan untuk menamakan orang yang mengakui qadar digunakan untuk kebaikan
dan keburukan pada hakekatnya kepada Allah.
Paham Qadariyah ini disebarkan oleh Ma'bad al-Juhani dan Ghailan al-Dimasqi sekitar tahun 70 H/ 689 M pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan (685-705M). Latarbelakang timbulnya qadariyah ini sebagai isyarat menentang kebijakan politik Bani Umayyah yang di anggapnya kejam. Apabila fikroh Jabariah berpendapat bahwa khalifah Bani Umayyah membunuh orang, hal itu karena sudah di takdirkan Allah dan hal ini berarti merupakan topeng kekejaman Bani Umayyah, maka fikroh qadariah mau membatasi qadar tersebut. Sekilas pemahaman Qadariyah ini sangat ideal dan sesuai dengan ajaran Islam. Di samping benar menurut logika, juga didasarkan pada ayat-ayat al-al-Qur’an dan hadis yang memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih dan menentukan perbuatannya sendiri. Akan tetapi jika kita mendalami ajaran Al-quran dan Hadis secara komprehensif serta memerhatikan realitas kehidupan sehari-hari, maka akan tampak jelas bahwa paham Qadariyah yang tidak mempercayai adanya takdir adalah mengandung berbagai kelemahan dan telah menyimpang dari ajaran Islam yang benar.
E. Aliran Mu’tazillah
Kata mu’tazilah berasal
dari kata I’tazala dengan makna yang berarti menjauhkan atau memisahkan diri
dari sesuatu. Kata ini kemudian menjadi nama sebuah aliran di dalam ilmu kalam
yang para sarjana menyebutnya sebagai Mu‟tazillah berdasarkan peristiwa yang
terjadi pada Washil ibn Atha (80 H/699 M- 131 H/748 M) dan Amr ibn Ubayd dengan
al-Hasan al-Bashri. Dapat didefinisikan, bahwa Mu’tazilah adalah Aliran Teologi
Islam yang rasional dan liberalis karena pandangan teologisnya lebih banyak
berdasarkan akal dan lebih bersikap filosofis. Dalam majlis pengajian al-Hasan al-Bashri
muncul pertanyaan tentang yang berdosa besar bukanlah mukmin dan juga bukanlah
orang kafir, tetapi berada diantara dua posisi yang istilahnya al Manzillah
bayn al-manzilatayn. Dalam uraian di atas bisa dipahami pemimpian tertua di
aliran Mu‟tazillah adalah Washil ibn Atha. Ada kemungkinan Washil ingin
mengambil jalan tengah antara khawarij dan murjiah, melainkan berada di dua
posisi. Alasan yang dikemukakan adalah bahwa orang yang berdosa besar itu masih
ada imannya tetapi tidak pula dapat dikatakan mukmin karena ia telah berdosa
besar. Orang yang serupa itu apabila meninggal dunia maka ia akan kekal di
dalam neraka, hanya azabnya saja yang lebih ringan dibandingkan orang kafir.
Itulah pemikiran Washil yang pertama sekali muncul.
Aliran ini dirintis oleh Washil bin Atha’ yang memisahkan diri dari Majelis gurunya Hasaan Al Basri. Sebagaimana telah dikatakan oleh Al-Mas’udi, Wasil bin Ata’ adalah syaikh Al-Mu’tazilah wa qadimuha, yaitu kepala Mu’tazilah yang tertua. Ia dilahirkan di Madinah pada tahun 81 H dan meninggal di Basrah pada tahun 131 H. Di Madinah ia berguru pada Hasyim Abd bin Muhammad bin Hanafiyah kemudian pindah ke Basrah dan belajar pada Hasan Al-Basri. Kemunculan aliran Mu’tazilah untuk pertama kalinya pada masa dinasti Umayyah berada diambang kehancuran, yakni dimasa pemerintahan Abd AlMalik bin Marwan dan Hisyam bin Abd Al-Malik. Dan ketika Dinasti Umayyah jatuh ke tangan abbasiyah, golongan Mu’tazillah mendapatkan tempat yang amat baik di dalam pemerintahan. Bahkan di masa pemerintahan Al-Ma’mun teologi Mu’tazillah secara resmi dijadikan ideologi bangsa.
F. Aliran Mur’jiah
Murjiah
berasal dari bahasa Arab irja artinya penundaan atau penangguhan. Karena sekte yang
berkembang pada masa awal islam yang dapat diistilahkan sebagai “orang-orang
yang diam”. Mereka meyakini bahwa dosa besar merupakan imbangan atau
pelanggaran terhadap keimanan dan bahwa hukuman atau dosa tidak berlaku
selamanya. Oleh karena itu, ia menunda atau menahan pemutusan dan penghukuman
pelaku dosa di dunia ini. Hal ini mendorong mereka untuk tidak ikut campur
masalah politik. Satu diantara doktrin mereka adalah shalat berjamaah dengan
seorang imam yang diragukan keadilannya adalah sah. Doktrin ini diakui oleh
kalangan islam sunni namun tidak untuk kalangan syiah.
Asal Usul Aliran Murji’ah. Aliran Murjiah muncul sebagai reaksi dari aliran kharjiyyah yang memandang perbuatan dosa sebagai quasi absolut dan merupakan sifat penentu, murji’ah lebih cenderung sebagai reaksi terhadap kharijiyyah daripada terhadap aliran mayoritas. Sangat kontras dengan aliran kharjiyyah yang mirip sekali dengan ajaran yang mirip sekali dengan ajaran St. John tentang “dosa yang dihukum mati”. Aliran Murji‟ah muncul dengan mengusung keyakinan lain mengenai dosa besar. Masalah yang mulanya hanya bersifat politis akhirnya berkembang menjadi masalah teologis. Lantara dua aliran tersebut muncul mendahului aliran Mu‟tazillah, maka tidak salah pula jika Wolfson menyebut bahwa keduanya sebagai aliran pra-Mu’tazilah dalam teologi islam.
G. Ahlussunnah Wal Jama’ah
Ahlussunnah
wal Jama’ah sebagai ajaran yang sudah ada sejak pada zaman Rasulullah SAW,
yaitu ajaran Islam itu sendiri. Dimana pada zaman itu, Ajaran Islam
dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan, tidak ada yang
dipertimbangkan. Ahlusssunnah wal Jama’ah mempunyai pendapat tentang masalah
agama, baik yang bersifat fundamental (ushul) maupun divisional (furu’).
Diantara mereka juga ada yang bersikap reformatif (mujaddiddun) dan ada pula
yang bersikap konservatif (muhafidzun). Golongan Ahlussunnah wal Jama;ah sering
disebut sebagai “Asawadul’Adhom” artinya golongan mayoritas umat Islam.
Selain
Itu, diantara Ahlussunnah wal Jama’ah ada yang “salaf” (generasi pendahulu
mulai dari shabat, tabi’in dan tabi’it tabi’nn) dan “khalaf” (generasi yang
dating kemudian sesudah masa tabi’it tabi’in) Diantara keduanya terdapat pendapat yang berbeda, terutama
dalam menyikapi ayat mutasyabihat yang terdapat dalam Al-Qur’an.
Dalam
Ilmu Kalam yang diangap sebgai tokoh Ahlussunnah wal Jama’ah adalah Imam Abu
Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur Al-Matudidi. Antara keduanya terdapat
persamaan mendasar yaitu mendasarkan pemikiran teolodis pada dalil Aqli dan
Naqli. Bedanya hanya terletaj pada porsi yang diberikan kepada akal. Dalam hal
ini Imam Al Maturidi memberikan porsi lebih besar daripada yang diberikan Imam
Al Asy’ari.
Sebagaimana
umumnya ulama Ahlussunah wal Jama’ah, AlMaturidi menggunakan metode sikap
tawassuth (jalan tengah) antara dalil naqli dan dalil aqli hanya saja
Al-Maturidi lebih luas dalam penggunaan akal sebagai dasar untuk menemukan
kebenaran dibandingkan dengan Al Asy’ari. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh
madzhab fiqih yang dianut oleh Al Maturidi yaitu madzhab Hanafi yang dikenal
sebagai tokoh Ahlu ra’yi (golongan rasionalis).


Komentar
Posting Komentar